Vaksinasi rabies adalah kunci, sebuah lompatan tehnologi vaksin rabies produksi dalam negeri
(World Rabies Day, 28 September 2019)
Tehnologi pembuatan vaksin rabies mengalami perubahan dalam beberapa dekade sesuai perkembangan protokol pembuatan vaksin dari WHO dan OIE. Vaksin anti rabies (VAR) di Indonesia pertama kali dibuat oleh Biofarma Bandung dari otak kera (Macacus gynomolgus) sejak tahun 1916 dan merupakan vaksin tunggal untuk manusia yang beredar di Indonesia sampai pertengahan tahun 1978 dan tidak diproduksi lagi. Sejalan dengan itu, vaksin rabies untuk hewan diproduksi di Indonesia sejak tahun 1967 oleh Lembaga Virologi Kehewanan (LVK) yang sekarang bernama Pusvetma. Vaksin generasi pertama menggunakan tehnologi virus rabies yang diinokulasikan pada hewan donor kambing/domba umur 3 bulan, inaktivan bahan kimia dan diformulasi dengan stabilizer dengan merk Rasivet. Vaksin generasi kedua berupa vaksin aktif yang dikembangkan dengan tehnologi pembiakan virus menggunakan TAB (telur ayam berembrio) yang dikenal dengan vaksin rabies Flury LEP dan Flury HEP. Vaksin generasi ke tiga dimulai berdasarkan konsensus WHO tahun1984, dimana tehnologi pembuatan vaksin rabies digantikan dengan metode tissue culture. Dengan pendampingan Dr. Larghi tenaga ahli WHO, pembuatan vaksin rabies di Pusvetma dengan tissue culture dimulai. Dalam tehnologi baru ini digunakan biakan sel sebagai media pertumbuhan virus rabies. Virus yang digunakan yaitu virus rabies strain Pasteur yang dibiakan pada kultur sel ginjal anak hamster (BHK-21), dengan bahan inaktifan berupa 2-Bromo Ethylamin (BEA) dan diformulasi adjuvant aluminium hidrogel. Vaksin ini diberi merk Rabivet. Vaksin generasi ke empat dikembangkan dengan menyempurnakan formula vaksin rabies tissue culture dengan tehnologi purifikasi protein dan inaktifan Beta-Propiolactone dibawah asistensi tenaga ahli Dr. Koike dari Jepang. Vaksin ini diberi nama Rabivet Supra ’92 dengan nomer registrasi Kementan RI : D.17021430 VKC.2.
Pengembangan tehnolgi pembuatan vaksin di Pusvetma terus dilakukan, bekerjasama dengan Prof. Aulanni’am dari Universitas Brawijaya dan BBPMSOH serta melibatkan Komisi Ahli Obat Hewan, maka pada tahun 2018 berhasil meluncurkan vaksin generasi ke lima dengan tehnologi penyempurnaan formulasi adjuvant alhydrogel yang diberi merk Neo-Rabivet dengan No Registrasi Kementan RI. D. 19035888 VKC. Vaksin ini mempunyai protektivitas yang tinggi dan durasi kekebalan lebih dari satu tahun. Lompatan tehnologi vaksin generasi ke enam juga mulai dilakukan sejak tahun 2017 dengan pembuatan vaksin rabies menggunakan adjuvant polimerik yang merupakan hasil penelitian thesis dari drh. Edy Budi S dalam program studi Magister Vaksinologi Universitas Airlangga dengan bimbingan Prof. Suwarno dan Prof. Fedik A. Rantam. Dari hasil penelitian, adjuvant polimerik mempunyai tingkat imunogenesitas yang lebih tinggi dibanding aluminium hidrogel dikarenakan memiliki sifat garam-garaman yang mudah terdispersi dalam air dengan bentuk partikel gel mikronik dan mempunyai ukuran yang lebih kecil dari aluminium hidrogel sehingga suspensi yang dihasilkan semakin homogen dan penyerapan vaksin oleh tubuh semakin sempurna. Vaksin ini sedang dikembangkan Pusvetma dengan uji terbatas di hewan model bekerjasama dengan Balai Veteriner Bukittinggi sebagai Lab referensi rabies di Indonesia. Vaksinasi merupakan kunci keberhasilan program pemberantasan penyakit rabies. Dengan vaksin yang berkualitas produk dalam negeri, kita dukung Indonesia Bebas Rabies 2030. (dari berbagai sumber)