Kementan Dorong Daerah Mandiri Pangan Melalui Skema Klaster Peternakan
Jakarta – Kementerian Pertanian, melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), terus mendorong kemandirian pangan di setiap daerah, khususnya dalam produksi pangan asal ternak seperti telur ayam dan susu sapi. Dalam rapat koordinasi yang digelar di Balai Besar Veteriner Farma PUSVETMA Surabaya pada 24 Agustus, Dirjen PKH, Agung Suganda, menegaskan pentingnya strategi pengembangan peternakan berbasis klaster di Indonesia.
Pada pertemuan tersebut, yang dihadiri oleh berbagai pakar dan pemangku kepentingan, dibahas sejumlah langkah strategis untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing peternak, mulai dari skala mikro hingga besar. "Kami ingin memperkuat ketahanan pangan nasional dengan pendekatan yang lebih terintegrasi dan berbasis klaster, terutama untuk sapi perah dan ayam ras," kata Agung.
Dalam kesempatan itu, Agung menyoroti pentingnya identifikasi lahan yang tepat dan peruntukannya yang jelas untuk pengembangan sapi perah dan peternakan unggas. “Kita perlu segera menyelesaikan identifikasi ketersediaan lahan dan merancang pengembangan peternakan berbasis klaster wilayah,” tegasnya. Ia juga meminta Kepala Dinas Provinsi yang membidangi PKH dan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup PKH untuk memastikan stabilitas produksi dan pasokan pangan ternak di masing-masing wilayah.
Pengembangan klaster ini, lanjut Agung, dapat membantu daerah mengelola produksi komoditas peternakan sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas lahan, serta mengurangi biaya logistik yang sering kali tinggi akibat distribusi antar wilayah dan pulau.
Selain itu, skema klasterisasi peternakan ini juga diharapkan dapat mendukung program Makan Bergizi yang dicanangkan pemerintah. Dengan produksi pangan asal ternak yang lebih merata dan efisien, biaya logistik dapat ditekan, sehingga harga produk ternak lebih kompetitif di pasar. “Skema ini tidak hanya menguntungkan peternak, tetapi juga konsumen,” ujar Agung.
Pakar IPB University, Epi Taufik, menambahkan bahwa pengembangan model sapi perah di Indonesia harus disesuaikan dengan potensi daerah masing-masing. Sementara itu, untuk peternakan ayam ras petelur skala mikro dan kecil, pendekatan klasterisasi dinilai lebih efektif. “Dengan model klasterisasi, kita bisa meningkatkan produksi secara signifikan sekaligus memberdayakan peternak kecil,” jelasnya.
Mendukung hal ini, H. Mulyadi Atma dari Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (LPER Teluria) menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, koperasi, peternak, dan perusahaan perunggasan. “Kami di LPER bersama Kodim 0507 Kota Bekasi telah memperkenalkan program 'Satu RW 1000 Telur' untuk memperkuat ketahanan pangan lokal dan mendorong kemandirian ekonomi masyarakat,” ungkap Mulyadi.
Dirjen Agung juga menekankan perlunya dukungan modal kerja dan sumber pembiayaan dengan bunga rendah bagi para peternak. Ia menyebut Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta alternatif pembiayaan dari Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dan Lembaga Penyaluran Dana Bergulir (LPDB) sebagai opsi yang dapat dimanfaatkan. “Dukungan ini penting agar peternak kita bisa berkembang dan mampu bersaing di pasar,” pungkasnya.
Dengan skema klaster ini, diharapkan setiap daerah dapat mencapai kemandirian pangan secara optimal, memperkuat ketahanan pangan nasional, serta meningkatkan kesejahteraan para peternak di seluruh Indonesia.